A. Latar Belakang Masalah
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.[1]
Menurut publikasi Badan Pusat Statistik pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus ini adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan.[2] Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun.[3] Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas serta letaknya yang strategis pernah dijadikan negara transit bagi pengedar gelap narkotika internasional. Tapi, sekarang Indonesia bukan lagi sebagai negara transit bagi pengedar gelap narkotika internasional melainkan telah menjadi negara tujuan. Sehingga dengan sendirinya Indonesia sangat rentan terhadap peredaran gelap narkotika.
Selain Indonesia sangat rentan terhadap peredaran gelap narkotika, dari segi konsumsi dalam hal ini penyalahgunaan narkotika kenyataannya memang secara kualitas dan kuantitas cenderung meningkat, bahkan dapat diperkirakan kejahatan penyalahgunaan narkotika pada masa mendatang akan terus meningkat seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal ini ditandai dengan munculnya modus operandi kejahatan dengan memanfaatkan teknologi dibidang transportasi, komunikasi dan informasi sebagai sarana dalam melakukan kejahatan.
Menurut Mulyono dan Liliawati Eugenia dalam penelitiannya pada tahun 1998, angka penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Mereka berdua menyebutkan sekitar tahun 1990-an penyalahgunaan narkotika di Indonesia belum populer dan oleh jaringan pengedar gelap narkotika internasional hanya dijadikan sebagai transit saja. Tetapi, belakangan Indonesia telah dijadikan negara tujuan atau pangsa pasar dan bahkan dinyatakan sebagai negara produsen/pengekspor narkotika terbesar di dunia.[4] Begitu juga menurut Romli Atmasasmita dalam tulisannya pada tahun 1997 peredaran narkotika di Indonesia diprediksi telah bersifat transnasional bahkan internasional.[5] Transnasional adalah transaksi yang dilakukan melalui lintas batas diantara dua negara atau lebih, sedangkan transaksi internasional merupakan bentuk transaksi yang sudah merupakan bentuk transaksi yang bersifat global baik lingkup maupun jaringannya.[6]
Pihak yang memanfaatkan kesempatan ini bertujuan memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat, dan tidak dipungkiri beberapa tahun terakhir berhasil terungkap pabrik-pabrik gelap narkotika. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam rangka mencari jalan penyelesaian yang tepat guna mengatasi permasalahan narkotika ini. Sehingga tidak sampai merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut data yang diumumkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2008 kasus narkotika selalu meningkat. Seperti pada tahun 2006 terjadi sebanyak 17.355 kasus, pada tahun 2007 terjadi sebanyak 22.630 kasus dan pada tahun 2008 terjadi sebanyak 29.359 kasus.[7]
Kasus-kasus yang berhasil terungkap oleh jajaran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) hanyalah fenomena gunung es, yang mana hanya sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya masih tidak terukur.
Menyadari bahwa penyalahgunaan narkotika ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian, dan pembunuhan yang sulit diberantas atau dapat dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali, maka yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin. Kemudian bagaimana melakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika ini.
Berkenaan dengan itu, untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, maka pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) No. VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Perubahan atas undang-undang tersebut akhirnya berhasil disahkan pada tanggal 14 September 2009 dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Akan tetapi, secara substansial undang-undang narkotika yang baru tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan undang-undang terdahulu. Terkecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan pada Badan Nasional Narkotika (BNN) yang sangat besar.
Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dapat diketahui dari pertimbangan yuridisnya, yakni:
“a. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
b. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
c. Bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
d. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. Bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika”.
Khusus pertimbangan yuridis Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pada huruf e di atas, adalah latar belakang penting dimana pemerintah berkesimpulan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.
Adapun penekanan yang signifikan dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah kewenangan BNN dan penyelidikan, dimana undang-undang ini memberikan porsi besar bagi penyidik BNN. Wewenang penyidikan BNN menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 hampir mirip seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bedanya hanyalah BNN tidak langsung melakukan penuntutan, melainkan tetap melalui penuntut umum dari kejaksaan.[8]
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika disertai dengan kewenangan yang diberikan kepada penyelidik dan penyidik BNN seperti penangkapan selama 3x24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan. Namun demikian selain adanya penyidik BNN, dalam undang-undang tersebut juga diatur kewenangan penyidik lainnya yakni penyidik Polri, dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dengan demikian efektifitas berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sangatlah bergantung instansi yang terkait langsung yakni penyidik Polri, PPNS dan BNN tersebut.
Pemberian kewenangan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisian dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, sehingga kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan juga diberikan kepada BNN?
Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ternyata tidak sama dengan kewenangan yang diberikan kepada penyidik Polri dan PPNS. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, serta rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.
Hadirnya kelembagaan BNN tentunya akan menjadi duet mechanism terhadap penegak hukum narkotika bersama dengan lembaga kepolisian, bahkan di samping itu masih ada penyidik lainnya yakni PPNS. Dimana BNN diberi wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, di samping dapat juga dilakukan penyidik kepolisian. Keduanya harus saling berkoordinasi, dan saling memberitahu apabila telah memulai melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika. Meskipun keduanya harus saling berkoordinasi, tetapi telah memberi sinyalemen atau petunjuk tentang ketidakmampuan (inability) dari kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik. Sedangkan PPNS posisinya juga penyidik yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, namun selaku koordinator dan pengawas tetap berada dipihak penyidik Polri sebagaimana telah digarikan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Permasalahan kewenangan dan sinyalemen ketidakmampuan ini dapat menjadi polemik institusional yang patut menjadi perhatian, karena soal kewenangan menyangkut masalah gengsi institusional dan selalu terjadi upaya pencegahan-pencegahan terhadap pengurangan kekuasaan itu, pengurangan kekuasaan dapat menimbulkan sikap persepsi keliru dari institusi yang menerima pengurangan tersebut. Institusi dapat dianggap tidak mampu dan tidak cakap melaksanakan kekuasaan yang diberikan, bahkan dianggap tidak pernah memberikan akuntabilitas memadai sesuai dengan harapan masyarakat apalagi kewenangan ini menyangkut kekuasaan. Ibaratnya the elimination of power is a show of power, akibatnya yang timbul adalah arogansi institusional sekaligus egoisme struktural sehingga akan menggangu proses integrated criminal justice system secara komprehensif.[9] Sebagai perbandingannya adalah dalam kasus ‘Cicak’ dan ‘Buaya’ antara KPK dengan Polri sebagai ledakan emosional. Setidaknya memberikan gambaran sikap persepsi keliru dari institusi yang menerima pengurangan tersebut.
Adanya wewenang penyidik BNN yang demikian luas dalam penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, maka wewenang BNN cenderung menyimpang dari asas-asas KUHAP maupun asas-asas universal yang berlaku selama ini dalam hukum pidana.
Permasalahan kewenangan ini bisa berpotensi menjadi polemik institusional yang patut menjadi perhatian, karena soal kewenangan menyangkut masalah gengsi institusional. Institusi dapat dianggap tidak mampu dan tidak cakap melaksanakan kekuasaan yang diberikan, bahkan dianggap tidak pernah memberikan akuntabilitas memadai sesuai dengan harapan masyarakat apalagi kewenangan ini menyangkut kekuasaan. Berkenaan dengan itu, penulis tertarik meneliti lebih lanjut persoalan kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Agar relevan dengan arah penelitian ini, maka penulis tetapkan judulnya sebagai berikut: “Tinjauan Kewenangan Penyidik Polri PPNS dan BNN Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”.
B. Masalah Pokok
Berkaitan dengan latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini, adalah:
- Bagaimana penyidik BNN ditinjau dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)?
- Apakah kewenangan penyidik yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berpotensi saling berebut kewenangan?
D. Kerangka Teori
Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:[10]
“Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk”.
Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini juga menggunakan teori fungsi hukum yang dikemukakan Friedman, yaitu:[11]
“1. Fungsi kontrol sosial (social control), bahwa semua semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah;
2. Berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute setlement) dan konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentangan-pertetangan yang bersifat makro dinamakan konflik;
3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah;
4. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game)”.
Berdasarkan fungsi hukum di atas dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum.
Khusus terhadap fungsi hukum kontrol di atas adalah untuk mengontrol penguasa atau kekuasaan, tidak bisa lepas dari esensi kekuasaan itu sendiri. Menguasai berarti sekaligus memiliki kontrol secara fisik terhadap sesuatu.[12] Apabila hal tersebut diterjemahkan ke dalam masyarakat secara modern atau demokratis, maka kekuasaan itu dapat diterjemahkan kepada power elite atau kelompok-kelompok dengan sejumlah kekuasaan, dan tidak ada satu pun kelompok yang memiliki seluruh kekuasaan. Maka dalam hal ini fungsi hukum sebagai kontrol antara kekuasaan dapat diartikan sebagai jalan keluar jika terjadi konflik antar kelompok pemegang kekuasaan tersebut.
Kekuasaan yang berlebihan memang dapat berkembang menjadi tirani, sebagaimana yang dikatakan Milis ”kekuasan agar tidak menjadi tirani perlu diatur batas dari kekuasaan pemerintah itu terhadap rakyatnya”. Hal tersebut menurutnya dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:[13]
”1. Sesuai dengan doktrin hak, bahwa hak yang dimiliki oleh pemerintah berasal dari rakyat, maka rakyat dapat menarik kembali hak itu kembali dan dengan demikian mengadakan pemberontakan;
2. Melalui cara konstitusional yang memeriksa / mengawasi si penguasa / pemerintah dalam berbagai hal penting”.
Hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan dan di samping itu hukum juga merupakan salah satu sumber kekuasaan, di samping sumber-sumber lainnya seperti kekuasaan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia, dan moral). Selain itu, hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, karena kekuasaan memiliki sisi/kecenderungan yang buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk menyalahgunakannya[14] atau power tends to corrupt.
Sebelum terjadinya pembaharuan dalam lapangan hukum pidana tertentu, criminal justice system di Indonesia dapat dilihat dari berbagai mekanisme dan sistem sebagaimana diatur dalam KUHAP. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut: Pertama, penyelidik dan penyidik kepolisian sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, selaku pengemban fungsi kepolisian, dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua, penuntut, adalah kejaksaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, diberi wewenang tambahan melakukan penyidikan atas tindak pidana khusus seperti korupsi. Ketiga, pengadilan, yang menurut undang-undang pokok-pokok kekuasaan hakim, menjadi lembaga yudikatif, terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu panitera dan staf yang berstatus pegawai negeri sipil.
Sejalan dengan fungsi hukum untuk mengontrol penguasa atau kekuasaan, maka tidak ada satu pun kelompok yang memiliki seluruh kekuasaan baik kepolisian maupun BNN. Fungsi hukum sebagai kontrol antara kekuasaan dapat dijadikan sebagai jalan keluar jika terjadi konflik antar kelompok pemegang kekuasaan tersebut. Fungsi kontrol terhadap penguasa di atas akan lebih jelas lagi dijabarkan dalam pasal-pasal dalam undang-undang yang mengatur masing-masing lembaga-lembaga tersebut (kepolisian, dan BNN).
Criminal justice system di Indonesia penegakannya tidak terlepas dari sistem hukum (legal system) yang terdiri dari legal substance, legal structure dan legal culture, maka pembaharuan sistem hukum pidana (penal system reform) dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup:[15]
“1. Pembaharuan substansi hukum pidana, yang meliputi pembaharuan hukum pidana materiel (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP dan undang-undang di luar KUHP), hukum pidana formal (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana;
2. Pembaharuan struktur hukum pidana, yang meliputi pembaharuan atau penataan institusi/lembaga, sistem manajemen/tata laksana dan mekanismenya serta sarana/prasarana pendukung dari sistem penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana); dan
3. Pembaharuan budaya hukum pidana, yang meliputi masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana”.
Menurut Barda Nawawi Arief pengertian sistem hukum pidana dapat juga dilihat dari sudut sistem penegakan hukum pidana atau sistem pemidanaan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
“1. Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/berprosesnya), sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai:
a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi hukum pidana;
b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem hukum pidana identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem hukum pidana materiel/substantif, sub-sistem hukum pidana formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana atau sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem hukum pidana/ pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem hukum pidana/pemidanaan fungsional atau “sistem hukum pidana/pemidanaan dalam arti luas”.
2. Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem hukum pidana/pemidanaan dapat diartikan sebagai :
a. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan; atau
b. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem hukum pidana/pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules)”.
Akan tetapi, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan (law making) dan pelaksanaan aturan hukum itu (law enforcement), belum mampu membuktikan konsistensi penegakan hukum dalam arti hakiki, karena sulit mencapai kesempurnaan antara subtansi, struktur, dan kultur hukum itu, tidak terkecuali hukum-hukum mengenai narkotika.[16]
Upaya pemberantasan narkotika tersebut, tidak terlepas dari dukungan aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana, yaitu dimulai dari pihak kepolisian, kejaksaan, peradilan, sampai pada lembaga pemasyarakatan yang semuanya itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi sejak lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada satu lembaga lain yang juga berperan yakni BNN bahkan diberikan porsi besar dalam melakukan penyidikan.
Penguatan kelembagaan BNN selain diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 juga ditegaskan oleh Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.[17]
Tentang penyidik secara umum diatur pada Pasal 1 butir 1 KUHAP, yang menyebutkan: ”Penyidik adalah pejabat negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan”. Kemudian dalam Pasal 6 KUHAP diperinci lagi sebagai berikut: 1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia ; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidik BNN, penyidik Polri dan PPNS menurut peraturan yang mengatur kewenangannya, disebutkan saling berkordinasi, utamanya penyidik BNN dengan penyidik Polri, dan antara PPNS dengan penyidik Polri. Namun koordinasi, perlu dipikirkan kelemahannya yang barangkali tidak terjangkau ketika merumuskan undang-undang.
Menurut Sukardi lemahnya “koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing pihak”.[18] Kondisi ini rawan menimbulkan konflik kepentingan antar intansi penegak hukum. Berangkat dari pemikiran di atas, Sukardi mengemukakan ”sistem penegak hukum yang tidak terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa adanya pengawasan dari suatu lembaga yang independen dan mempunyai otoritas merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan”.[19]
Hambatan koordinasi lainnya menurut Tossi dan Carol ada dua hal:[20]
“1. Kondisi organisasi adalah masalah organisasi yang terjadi karena urut-urutan yang berlainan, mempunyai kegiatan yang berlainan yang harus diselesaikan tetapi kegiatan tersebut mempunyai jadwal waktu yang berlainan;
2. Faktor manusia adalah faktor yang berhubungan dengan masalah kelompok-kelompok dan bagian-bagian yang berkembang”.
Menurut Lawrence dan Lorsch, ada empat jenis sikap dan gaya kerja yang berlainan yang cenderung timbul diantara berbagai organisasi yang menyulitkan
penciptaan koordinasi, yaitu:[21]
“1. Perbedaan dalam orientasi dan sasaran khusus;
2. Perbedaan dalam orientasi waktu;
3. Perbedaan dalam orientasi hubungan antar pribadi;
4. Perbedaan formalitas struktural”.
Menurut Moekijat, faktor manusialah yang menyebabkan timbulnya masalah koordinasi:[22]
“1. Karena persaingan sumber daya;
2. Perbedaan status dan urutan pekerjaan;
3. Tujuan-tujuan yang bertentangan;
4. Penglihatan sikap dan penilaian yang berlainan;
5. Wewenang dan penunjukan pekerjaan yang merugikan;dan
6. Usaha menguasai dan mempengaruhi”.
Timbulnya berbagai masalah seperti lemahnya koordinasi antar penyidik, tumpang tindih wewenang, sikap intansi sentris dan arogansi di antara penyidik, dapat menjadi faktor kriminogen dalam proses penegakan hukum pidana karena kekuasaan penyidikan adalah merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana dan sistem peradilan pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana yang berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan sistem penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegak hukum ”in conreto”.[23]
Kurang baiknya kondisi undang-undang sebagai salah satu faktor timbulnya
kejahatan, antara lain dikemukakan oleh J.E Sahetappy walaupun di samping itu dikemukakan pula adanya faktor lain yaitu pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak-tanduk dari aparat penegak hukum.[24] Demikian pula Wolf Middendorf menyatakan bahwa keseluruhan efektivitas peradilan pidana bergantung pada 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing).[25]
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa:[26]
”Perundang-undangan yang telah ada selama ini sudah mengatur struktur organisasi (termasuk syarat-syarat pengangkatan pejabat) dari badan/lembaga penuntut umum (kejaksaan) dan badan/lembaga pengadilan, tetapi belum ada undang-undang yang khusus mengatur mengenai struktur organisasi badan atau lembaga penyidikan sebagai bagian (sub sistem) dalam proses penegakan hukum pidana. Undang-undang seyogianya menegaskan siapa kepala/penanggung jawab dari badan/lembaga penyidikan ini. Di samping itu, walaupun ada beberapa pejabat yang dapat ditunjuk sebagai pejabat penyidik, undang-undang seyogianya menegaskan hanya ada satu pejabat puncak yang berwenang mengangkat penyidik itu. Pengangkatan/penunjukan satu pejabat puncak itu bisa saja didasarkan pengusulan dari berbagai instansi/departemen/pejabat terkait. Patut pula dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan tentang struktur organisasi badan/lembaga penyidik itu seyogianya juga dilengkapi dengan mekanisme/prosedur tata kerja yang terpadu. Bertolak dari manajemen terpadu, seyogianya semua proses penyidikan lewat ”satu pintu/koordinasi”, agar semua data tentang proses penyidikan tidak tersebar di berbagai instansi tetapi tercatat (terdokumentasi/terinventarisasi) di satu badan/lembaga agar memudahkan koordinasi, pengawasaan dan monitoring”.
Kebijakan legislatif atau perundang-undangan tentang badan atau lembaga penyidik ini juga harus disusun sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan yang integral dengan keseluruhan kebijakan proses penegakan hukum pidana termasuk pada jiwa/perundang-undangan tentang lembaga penyidik.
[1]Penjelasan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
[2]Hasil Sensus Penduduk 2010 : Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat Statistik, Jakarta, Agustus 2010, hal. 6.
[3]Ibid.
[4]Mulyono, Liliawati Eugenia, Peraturan Perundang-undangan Narkotika dan Psikotropika, Harvindo, Jakarta, 1998, hal. 5.
[5]Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 1.
[7]http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kasus&id=30&mn=2&smn=e, terakhir kali diakses 11 Februari 2011.
[8]Punya Wewenang Penyidikan, BNN Mirip Seperti KPK dalam http://m.detik.com, terakhir kali diakses 11 Februari 2011.
[9]Indriyanto Seno Adji, Dwang Middelen dan Ide Arah Hakim Komisaris, Artikel pada Media Hukum, Volume 1 No. 5 22 April 2003, Persatuan Jaksa Republik Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 77-78.
[10]Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.
[11]Friedman dalam Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 69-70.
[12]A.K. Sarkar, Summary of Salmond’s Jurisprudence, 3rd edition, Triparti, Bombay, 1982, hal. 104, dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar...Op.Cit., hal. 128.
[13]Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosopy, 3 rd edition, Butterwoth-Heineman, Oxford, 2001, hal. 88-90 dalam OC Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, OC Kaligis & Associates, Jakarta, 2006, hal. 28.
[14]Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75-76.
[15]Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, makalah disajikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, tanggal 24 Desember 2005, hal. 1.
[16]M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 51.
[17]Penjelasan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
[18]Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal. 128.
[20]Tossi dan Carol dalam Maroni, Koordinasi Penegak Hukum dalam Rangka Pelaksanaan dan Pengawasan Penahanan Pada Proses Penyidikan Perkara Pidana, Tesis Proram Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 1996, hal. 95.
[21]Ibid.
[22]Moekijat, Koordinasi suatu TinjauanTeoritis, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 99-100.
[23]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2005 hal. 84.
[24]J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali Jakarta, 1982, hal. 282.
[25]Harold D Hart, Ed., Punishment: For and Againts, Hart Publishing Company Inc, New York, 1971, hal. 22 dalam Fransisca Avianti, Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik dalam Sistem peradilan Pidana Terpadu di Indonesia, Tesis Proram Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hal. 28.
[26]Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 36.
Sebaiknya penyidik polri saja yg d tingkatkan kualitas dan anggarannya, daripada bentuk lembaga baru, krna penyidik yg menjadi penyidiknya adalah anggota polri yg d pekerjakan oleh lembaga itu
BalasHapusSebaiknya penyidik polri saja yg d tingkatkan kualitas dan anggarannya, daripada bentuk lembaga baru, krna penyidik yg menjadi penyidiknya adalah anggota polri yg d pekerjakan oleh lembaga itu
BalasHapus