Selasa, 11 September 2012

Filsafat Aksiologi ...naldi


FILSAFAT AKSIOLOGIS



1.   Latar Belakang Masalah

Filsafat merupakan suatu cara berfikir yang tegas dan menyeluruh yang membahas segala sesuatu secara mendalam.[1] Oleh karena itu filsafat senantiasa dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang diikuti proses berfikir tanpa henti untuk memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar resebut. Dalam makna ini maka filsafat merupakan sebuah metode berfikir sekaligus induk dari segala bidang klasifikasi ilmu karena prinsip radikal, universal, integral dan komperhensif yang melekat dalam filsafat.
Filsafat ilmu merupakan cabang tersendiri dari ilmu filsafat. Cabang ini secara khusus mengkaji dan mempelajari secara mendalam ilmu pengetahuan. Dalam pembicaraan filsafat ilmu, paling tidak ada tiga persoalan yang menjadi objek kajiannya, yakni ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. [2]
Salah satu hal yang dapat dipahami dari filsafat ilmu adalah bahwa ia merupakan suatu disiplin yang didalamnya konsep-konsep dan teori ilmu pengetahuan dianalisis dan diklasifikasikan. Filsafat ilmu dibutuhkan untuk menjelaskan makna dari konsep-konsep ilmu pengetahuan sehingga dimengerti hubungannya dengan konsep lainnya.[3]
Conny Semiawan menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[4] Sedangkan Jujun Suriasumantri  memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu tentang objek apa yang ditelaah ilmu, wujud hakiki dari objek, hubungan antara objek tadi dengan daya tangap manusia, proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu, apa yang dimaksud dengan kebenaran, tujuan pengetahuan, kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral, penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral.[5]
Dengan demikian berdasarkan pemahaman filsafat ilmu di atas maka aspek kajian dalam filsafat ilmu adalah ontologis, epistemologis. dan aksiologis. Dalam makalah ini akan diuraikan berbagai aspek tentang filsafat aksiologis dalam kerangka filsafat ilmu.


2. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana sejarah Filsafat Aksiologi?
b. Apa pengertian filsafat Aksiologi?
c, Sejauh mana objek kajian filsafat aksiologi?

3. Pembahasan
a.  Sejarah Perkembangan Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris.  Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut.
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.  Filsafat Islam sering dianggap sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. 

b. Pengertian Filsafat Aksiologis
Menurut Principia Cybernetica Web aksiologi (axiology) adalah :[6]
1)   A branch of philosophy dealing with values, i.e., ethics, aesthetics, religion. Based on the Greek for "worth."
2)   The study of the nature of types of and criteria of values and of value judgments, especially in ethics (John Warfield)
3)   The general theory of value; the study of objects of interest. (Lotze)
Pendapat lain tentang aksiologi dikemukakan oleh Pizarro seperti berikut ini. ”Axiology involves the values, ethics, and belief systems of a philosophy/paradigm. Within the critical race theory, axiology is the paradigm's leading influence on research studies. Ontology and epistemology are secondary to the axiology. Critical race theory's axiology is composed of two elements: equity and democracy.[7]
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil intisari pengertian aksiologi sebagai berikut.
-      Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan macam-macam dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilainilai moral.
-       Aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian ilmiah.
Aksiologi merupakan suatu kajian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam prilaku manusia dalam mengaktualisasikan eksistensi akal fikirannya. Pada abad ke-17 dan 18 pengaruh rasionalisme, empirisme dan idealisme besar pengaruhnya dalam menentukan sistem nilai. Pada abad sesudahnya prinsip ini melahirkan berbagai aliran pemikiran seperti positivisme, marxisme dan lainnya. Aliran positivisme dikembangkan oleh A. Comte (1798-1857) dengan tiga tahap pemikiran dalam hidup manusia, yakni teologis, metafisis dan positif ilmiah. Sementara aliran marxisme mengejarkan material dialektika dimana semua hal terdiri dari materi yang dikembangkan dengan dialektika.[8]

c.  Objek Kajian Filsafat Aksiologis
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. [9] Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[10]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?” (dalam psikologi, lihat juga ”The New Science of Axiological Psychology” oleh Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.[11]
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan metafisik.[12]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Atakah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?[13]
 Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.[14]
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.[15]
a.    Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
b.    Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
c.     Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
d.    Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
e.    Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah. 
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. Kohlberg menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu:
1.      Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanakkanak.
a.    Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh adalah untuk menghindari hukuman.
b.    Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar karena memperoleh imbalan atau pujian.
2.      Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut.
a.    Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku baik untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang menjadi loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan teman.
b.    Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat atau negara.
3.      Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
a.    Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orangorang memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam mencapai konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
b.    Universal ethical principles orientation. Orang memahami bahwa suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif, universal, dan konsisten.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behaviour,[16] atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behaviour,[17] prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[18]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[19] Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.  Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.  
4. Kesimpulan
Kajian tentang etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang ragam pengertian moral.  Moral berarti concerned with principles of right and wrong behaviour, or standard of behaviour, sesuatu yang menyangkut prinsip benar dan salah dari suatu perilaku dan menjadi standar perilaku manusia.
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, untuk melacak kenetralan ilmu, maka apllied-science atau ilmu terapan atau teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai indikator ilmu dalam kategori netral atau tidak netral. Kenetralan ilmu terletak pada pengetahuan yang carteis, asli, murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial.  Namun demikian, dalam perkembangan ilmu tidak sedikit yang semestinya netral dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang disebabkan banyak faktor seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian yang dilakukan berkembang sesuai dengan kepentingannya, bukan berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian ilmu berkembang sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan traumatik terhadap lingkungan. Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika sangat berkaitan dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena pokok kajian etika terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, baik” dan “buruk”.










DAFTAR PUSTAKA

A. Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: 1990, Cipta Adi Pustaka) 
Conny R. Semiawan, I. Made Putrawan, I, Setiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: 2004, Rosda Karya)  
Harry Harmersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat,  (Jogjakarta: 1980, Pustaka Filsafat) 
Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: 1995,  Oxford University Press)
Jujun S. Sumantri, Ilmu dalam Perspektif, ( Jakarta: 1984,Yayasan Obor)
------------------------, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : 2005, Sinar Harapan)
------------------------. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. (Jakarta : 1996, Gramedia media utama) 
K. Bertens, Etika (Jakarta: 1999,  Gramedia Pustaka Utama)
M. Nazir, Membangun Ilmu dengan Paradigma Islam, (Pekanbaru: 1999, Susqa Press)  
Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis (Jakarta: 1995, Gramedia Pustaka Utama) 
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: 1978, Bulan Bintang ) 
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: 1995, Remaja Rosdakarya)
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II (Jakarta: 1996, Balai Pustaka) 
Internet:
www.pespmc1.vub.- ac.be/ASC/ AXIOLOGY html
(www.edb.utexas. Nedu / faculty / scheurich/proj7/axiology.html./



[1] Jujun S. Sumantri, Ilmu dalam Perspektif, ( Jakarta: 1984,Yayasan Obor), h. 4
[2] M. Nazir, Membangun Ilmu dengan Paradigma Islam, (Pekanbaru: 1999, Susqa Press)  h. 87
[3] Conny R. Semiawan, I. Made Putrawan, I, Setiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: 2004, Rosda Karya)  h. 44
[4] Conny R. Semiawan , op.cit. h. 45
[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : 2005, Sinar Harapan). h.33-34
[6] www.pespmc1.vub.- ac.be/ASC/ AXIOLOGY html
[7] (www.edb.utexas. Nedu / faculty / scheurich/proj7/axiology.html./
[8] Harry Harmersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat,  (Jogjakarta: 1980, Pustaka Filsafat) h.41
[9] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II (Jakarta: 1996, Balai Pustaka) h. 159
[10] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: 1978, Bulan Bintang ) h. 471-472
[11] Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis (Jakarta: 1995, Gramedia Pustaka Utama) h.49
[12] A. Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: 1990, Cipta Adi Pustaka) h. 225
[13]Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. (Jakarta : 1996, Gramedia media utama) h. 2
[14]  .Jujun S. Suriasumantri. (2005) op.cit., h. 235.
[15] .Jujun S. Suriasumantri. (1996) op.cit., h. 15 – 16
[16] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: 1995,  Oxford University Press), h. 393.
[17] Ibid.
[18] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: 1995, Remaja Rosdakarya), h. 100-101.
[19] K. Bertens, Etika (Jakarta: 1999,  Gramedia Pustaka Utama), h. 4. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar